MataPapua,Sorong - Keluarga korban pembunuhan yang terjadi pada tanggal 28 November 2024 di Kampung Kambufatem Distrik Aitinyo Barat, Kabupaten Maybrat mengamuk di Pengadilan Negeri (PN) Sorong.
Hal itu dikarenakan keluarga korban sangat tidak puas dengan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Senin (2/6/2025) sekitar pukul 16.30 Wit.
Majelis Hakim PN Sorong yang diketuai Yajid Raharjo didampingi Rifai Tukuboya dan Lutfi Tomu sebagai hakim anggota menjatuhkan vonis kepada terdakwa Musa Kambu dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.
Putusan Majelis Hakim PN Sorong tersebut lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Sorong dimana JPU menuntut terdakwa 4 tahun penjara.
Putusan Majelis Hakim PN Sorong inilah yang membuat keluarga korban terutama ayah dan ibu Frangklin Iek tidak puas. Keluarga korban menilai putusan Majelis hakim PN Sorong sangat tidak adil.
Ketidakpuasan atas putusan Majelis Hakim ditunjukkan oleh ibu dan ayah korban dengan melakukan protes. Ibu korban bahkan sampai ingin membanting kursi yang ada tunggu antrian yang ada di lingkungan PN Sorong.
Namun pegawai PN Sorong dengan dibantu Anggota Kepolisian yang bertugas melakukan pengawalan di PN Sorong berhasil mencegah hingga aksi membalikkan kursi tidak terjadi.
Ibu korban nampak sangat marah, histeris, dan mengamuk, tetapi anak dan keluarga terus menahannya, sehingga ibu korban tidak sampai merusak fasilitas di Pengadilan Negeri Sorong.
Sementara bapak korban bersama dengan saudaranya, bersuara dengan nada yang cukup tinggi dan keras untuk menunjukkan rasa ketidakpuasan atas putusan Majelis Hakim PN Sorong.
Terlihat Ketua PN Sorong, Beauty D.E. Simatauw, S.H.,M.H berusaha untuk menangkan keluarga korban. Ketua PN menyampaikan bahwa putusan Majelis Hakim PN Sorong bukan putusan akhir, sebab masih ada upaya banding ke Pengadilan Tinggi Papua Barat Daya di Manokwari dan Kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta.
Namun penjelasan Ketua PN Sorong tersebut tidak lagi diindahkan, pihak keluarga korban tampak sudah sangat kecewa. Pihak keluarga korban minta agar putusan Majelis Hakim direvisi.
Keluarga korban masih tetap bertahan di PN Sorong hingga pukul 19.00 wit. Setelah melalui serangkaian negoisasi, dan pembicaraan dengan pengacara dan Jaksa akhrinya keluarga korban memutuskan untuk pulang. Itupun keluarga korban pulang masih dengan nuasa tidak puas.
"Kami serahkan dan kembalikan semua kepada Tuhan saja," kata Pieter Iek yang merupakan bapak kandung dari Almarhum Frangklin Iek kepada wartawan.
Pihak keluarga, kata Pieter Iek, telah mengawal kasus ini mulai dari Polres, naik sampai di Kejaksaan hingga ke Pengadilan Negeri Sorong.
"Kami telah ikuti setiap sidang sampai hari ini putusan. Saya sangat tidak puas. Negara mana yang pelaku pembunuhan di hukum cuma 4 tahun 6 bulan penjara," kata Pieter.
Tadi dirinya telah menanyakan, dan minta agar pihak pengadilan, dan jaksa bisa menunjukkan pasal berapa dalam Undang - Undang menyebutkan bahwa pelaku pembunuhan di hukum 4 tahun 6 bulan penjara.
"Saya tidak pintar hukum, jadi saya bertanya. Tunjukkan di pasal berapa dan di Undang - Undang yang mana. Tolong tunjukkan kepada saya, kalau pelaku pembunuhan di hukum 4 tahun 6 bulan penjara. Jadi sekali lagi saya katakan, saya sungguh tidak puas dengan putusan yang diberikan oleh hakim di Pengadilan Negeri Sorong, " kata Pieter Iek dengan ekspresi wajah yang sangat kecewa.
Keluarga korban pada dasarnya, kata Pieter Iek, berharap hukuman yang diberikan bisa membuat efek jera. Sehingga memberi pelajaran bahwa menghilangkan nyawa orang selain mendapat denda adat dan turut pula bisa dihukum dengan hukuman yang berat oleh hukum negara.
"Tadi kalau putusan hakim misalkan tambah 3 tahun, sehingga menjadi 7 atau 8 tahun penjara, kami tentu bisa puas dan tidak akan protes serta marah seperti ini, " ucap Pieter Iek.
Putusan yang tidak adil ini, menurut Pieter Iek, bisa membawa dampak buruk bagi masyarakat di Kabupaten Maybrat. Sebab hukuman menghilangkan nyawa orang sangat rendah.
"Memang tadi kami sudah bicara dengan pengacara dan jaksa untuk banding. Kami berharap pengadilan tinggi bisa memberi hukuman yang lebih adil lagi, sehingga kami bisa puas dan tidak lagi terjadi kejadian menghilangkan nyawa orang lain di Kabupaten Maybrat, " ujar Pieter Iek berharap.
Ibu korban, Federika Way turut menambahkan bahwa perdamaian adat yang dijadikan alasan, sehingga meringankan hukuman. Padahal perdamaian adat tersebut belum sesuai dengan yang pihak keluarga minta.
"Perdamaian adat tidak sesuai dengan yang kami minta. Kain kepala saja tidak ada, uang denda belum dibayar lunas, masih sisa 50 juta Rupiah. Kemudian karena denda adat itu, hukumannya langsung dipotong hingga 4 tahun 6 bulan. Itu di negara mana yang bilang begitu, " kata Mama Federika Way emosional.
Mama dengan Bapak ini, lanjut Federika Way, jalan dari Kampung di Kabupaten Maybrat ke Kota Sorong ini pulang pergi dengan air mata, karena sangat terpukul kehilangan anak kami.
"Anak kami ini korban, demi Pilkada Kabupaten Maybrat yang menjadi bagian dari Pilkada serentak di seluruh Indonesia, Sebab dia sebagai kepala sekretariat Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kampung Kambufatem, " ujar Mama Federika.
Kejadian pembunuhan tersebut, sambung Mama Federika, terjadi sehari malam hari saat masih dilakukan penghitungan suara di TPS.
Bahkan oleh keluarga, kata Mama Federika, telah membuat prasasti buat Almarhum Frangklin Iek sebagai pahlawan.
"Jadi nanti kalau naik ke kampung Kambufatem dari Sorong Selatan, nanti bisa lihat ada prasasti. Kuburannya, mama dong bikin megah. Karena anak kami ini pahlawan, " ucap Mama Federika Way sembari menambahkan almarhum merupakan anak bungsu dan harapan.
"Anak Mama ini meninggalkan istri dan seorang anak yang masih berusia 2 tahun. Siapa yang harus menanggung biaya hidup mereka, " kata Mama Federika menutup wawancara (*)