• 13 Dec, 2025

Sekretaris LMA Mee Ogeiye Soroti Dampak Kemanusiaan Sengketa Tapal Batas Mee–Kamoro di Kapiraya

Sekretaris LMA Mee Ogeiye Soroti Dampak Kemanusiaan Sengketa Tapal Batas Mee–Kamoro di Kapiraya

MataPapua, Kabupaten Nabire - Sengketa tapal batas adat antara Suku Mee dan Suku Kamoro di wilayah Distrik Kapiraya, Provinsi Papua Tengah, dinilai telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan yang serius.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Suku Mee Ogeiye (LMA-O) Diyoweitopoke, Andreas Pakage usai aksi unjuk rasa damai di Kantor DPRD Provinsi Papua Tengah, Jumat (12/12/2025) kemarin.

de1
 

Andreas menegaskan bahwa konflik yang bermula dari ketidakjelasan tapal batas adat kini tidak lagi sekadar persoalan wilayah, melainkan telah menimbulkan korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, serta gelombang pengungsian warga.

“Konflik ini sudah melampaui persoalan garis batas. Yang terjadi saat ini adalah tragedi kemanusiaan. Fasilitas vital seperti rumah sakit, sekolah hingga gereja ikut menjadi korban pembakaran bahkan ada masyarakat yang dibunuh dan jasadnya dibakar,” ujar Andreas kepada awak media.

Ia meminta aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas seluruh pelaku kekerasan tanpa pandang bulu. Menurutnya, penegakan hukum menjadi langkah mendasar untuk menghentikan kekerasan dan memulihkan rasa keadilan bagi masyarakat adat.

“Kami meminta Kapolda dan jajaran Kepolisian agar semua pelaku diproses sesuai hukum yang berlaku. Hukum tidak boleh diam di tengah penderitaan masyarakat adat,” tegasnya.

Selain konflik horizontal, Andreas juga menyoroti keberadaan perusahaan-perusahaan yang diduga beroperasi tanpa izin di wilayah sengketa.

demo2
 

Ia menilai aktivitas perusahaan ilegal tersebut turut memperkeruh situasi dan memperbesar potensi konflik di tanah adat.

“Kami, baik LMA Suku Mee maupun Kamoro, meminta Pemerintah Provinsi segera mencabut izin-izin ilegal. Perusahaan-perusahaan yang masuk tanpa dasar hukum harus ditindak sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya.

Lebih lanjut, Andreas mengungkapkan kondisi memprihatinkan yang dialami warga Suku Mee khususnya di Kampung Wakia, Distrik Kapiraya dimana banyak warga terpaksa mengungsi ke hutan setelah rumah mereka dibakar, dan hingga kini hidup berpindah-pindah tanpa jaminan keamanan.

“Informasi terakhir yang kami terima, masyarakat mengungsi ke hutan karena rumah mereka dibakar oleh sekelompok orang yang belum bisa kami pastikan identitasnya. Saat ini mereka berpindah-pindah tempat untuk menyelamatkan diri,” ungkapnya.

Ia menambahkan, anak-anak dan pelajar menjadi kelompok paling rentan dalam situasi tersebut.

Aktivitas pendidikan terhenti, sementara rumah ibadah yang selama ini menjadi pusat kehidupan sosial dan spiritual warga telah hangus terbakar.

“Kami berharap Pemerintah Provinsi segera membangun kembali Kampung Wakia agar masyarakat bisa kembali hidup normal. Di sana ada anak-anak kecil, anak sekolah dan Gereja sudah dibakar,” ujarnya.

Andreas menegaskan bahwa penyelesaian sengketa tapal batas adat harus mengedepankan pendekatan dialog, keadilan dan kearifan lokal dengan keterlibatan aktif negara sebagai fasilitator dan pelindung hak masyarakat adat.

“Masalah ini bukan sekadar administrasi wilayah. Ini tentang manusia, keluarga dan masa depan generasi Papua. Negara harus hadir untuk melindungi martabat dan hak hidup masyarakat adat,” pungkasnya.