Dinilai Merugikan Masyarakat Adat, Pemuda Adat dan Organisasi AMAN Sorong Menolak Kehadiran PT. PBH

SORONG – Dinilai merugikan masyarakat adat terkait pengelolaan perdagangan karbon dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh PT. Perkasa Bumi Hijau Unit 1 di wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya mendapat penolakan keras dari pemuda adat Salawati Tengah dan Organisasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong.

Penolakan tersebut disampaikan oleh pemuda adat Salawati Tengah, Semuel Moifilit di sorong. Menurutnya, terkait penyusunan draft bisnis perdagangan karbon yang didorong oleh pemerintah ini belum diketahui pasti soal pembagian hasil perdagangan karbon.

Pemuda Adat Salawati Tengah, Semuel Moifilit dan Ketua Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong

” Jadi kita belum mengetahui pembagian hasil perdagangan karbon dan juga kita tidak tahu apa yang nanti dihasilkan dari wilayah adatnya kita. Mereka Hanya modal mengklaim wilayah ini kemudian mempromosikan kepada dunia luar bahwa perusahan tersebut berhasil menjaga krisis iklim dengan melakukan pengadaan jasa lingkungan,” terang pemuda adat Salawati Tengah, Semuel Moisigin di Sorong, Jumat (10/11/2023).

Baginya, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pengelolaah hutan tanpa harus melalui investati. Karena menurutnya, ketika pengelolaan tersebut sudah tidak beroperasi maka tanah tersebut akan dikembalikan ke negara melalui bank tanah, secara otomatis kami masyarakat adat rugi. Pertama kami sudah tidak tahu bisnis karbon ini seperti apa dan hasil perdagangan karbon seperti apa kemudian kami akan menjadi korban dari investasi itu,” Ungkap Semuel.

Hal inilah yang melatarbelakangi penolakan kehadiran perusahaan itu, Ungkap Semuel, pertama, jika perusahan iru berhasil mendapatkan konsesi di wilayah itu otomatis masyarakat adat sudah tidak bisa melakukan aktivitas di wilayah itu. Misalnya menebang pohon standarnya 2 meter per kubik di wilayahnya, artinya ada pembatasan untuk masyarakat pemikik hak ulayat.

Selain itu, pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat adat akan dibatasi seperti menebang pohon yang digunakan untuk obat tradisional.

” Kami dari dulu hidup tidak bergantung pada investasi atau perusahaan, kami memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup bukan kebutuhan ekomomi. Jadi menurut saya kehadiran peruhaan ini memberi keuntungan untuk masyarakat adat,” Tandasnya.

Terkait dengan hal itu, Semuel menegaskan bahwa, perdagangan karbon sebagai jalan yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim ini hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, faktanya selama ini yang menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu dilakukan oleh korporasi dan pemerintah itu sendiri.

Lanjut Semuel, seharusnya dalam mengatasi krisis iklim solusinya adalah berfokus pada pengurangan emisi untuk memastikan suhu global berada di bawah 1,5 derajat celcius, sehingga tidak ada cara lain untuk mengatasi krisis iklim selain pengurangan emisi bahan bakar fosil secara segera dan
besar-besaran, bukan menggantinya dengan solusi teknokratis sekedar menanam pohon dan menjual Karbon.

” Kami masyarakat Adat bisa melindungi hutan dan memulihkan ekosistem alami dan menjaga keanekaragaman hayati dan iklim, Masyarakat adat tidak pernah meminta pemerintah untuk hadirkan Investor untuk menguasai wilayah adat kami termaksud hutan,” tegas Semuel

Pemerintah harusnya membuat kebijakan untuk mengurangi emisi secara langsung, bukan sebagai penggantinya malah merampas hak masyarakat Adat dengan memberi izin kepada perusahaan perdangan karbon .

“seperti memberi ijin perdagangan karbon kepada PT Perkasa Bumi Hijau Unit I. Untuk itu dengan tegas kami menolak kehadiran perusahanan itu,” tutupnya

Sementara itu, Ketua Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong, Feki Mobalen menegaskan bahwa, kurang lebih 7 juta anggota organisasi AMAN di Provinsi Papua Barat Daya menolak proyek perdagangan karbon yang diprogramkan oleh pemerintah setempat.

” Kami lebih merekomendasikan negara dalam hal ini pemerintah segera mengesahkan RUU masyarakat adat sebagai upaya menjaga kelestarian wilayah adat dan hutan supaya krisis iklim ini bisa terselesaikan, tegas Ketua Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong, Feki Mobalen .

lanjut Feki, untuk menjaga keseimbangan iklim, pemerintah Provinsi dan kota/kabupaten untuk segera menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar masyarakat bisa mengetahui ruang produksi, ruang lindung, ruang cagar alam dan lain sebagainya.

Selain itu, Feki juga meminta agar pemerinta segerah mengesahkan perda-perda masyarakat adat. Karena menurutnya sejauh ini masyarakat adat hanya melakukan pencegahan terhadap wilayh-wilayah yang masih hijau.

‘Hal ini dilakukan untuk memberikan kontribusi iklim dunia. Kalau masyarakat yang jaga hutan maka akan memberikan kontribusi kelestarian iklim dunia akan terjaga. Dan sampai hari ini yang menjaga iklim dunia adalah masyarakat adat, justru negara yang memberikan ruang yang cukup besar kepada para investor untuk melakukan investasi batu bara, migas, penebangan hutan, kelapa sawit dan lain sebagainya yang berpotensi dapat merusak iklim dunia,” ujar Feki.

Ia menambahkan, pemerintah harus mendukung dan melibatkan masyarakat adat dalam pemetaan wilayah adat dan membantu masyarakat mendapatkan SK pengakuan.

“Karena masyarakat ini mengambil hasil hutan hanya secukupnya. Jadi kalau pemerintah bicara soal iklim global seharusnya pemerintah harus secepatnya mengesahkan RUU, menetapkan RTRW dan SK pengakuan masyarakat adat supaya sama-sama kawal pengelolaan hutan sehingga kedepan dapat memberikan kontribusi iklim dunia.

Perlu diketahui, kata Feki, Perusahaan terkait juga harus mengetahui bahwa yang memiliki wilayah adalah marga. Ia juga kecewa karena Kegiatan sosialisasi yang sudah berlangsung di salah satu hotel di kota Sorong tidak melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat dalm diskusi publik melainkan melibatkan marga lain yang bukan di wilayah itu.

“Tentu hal ini dapat berdampak buruk pada reklaiming di satu wilayah tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat, nanti siapa yang mau bertanggungjawab terkait hal ini,” Tutup Feki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Leave a comment