Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah instrumen yang semakin populer untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pembuat kebijakan di negara berkembang pun menerapkan berbagai bentuk Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengatalisasi pertumbuhan, termasuk dengan menarik foreign direct investment.
MataPapua,Sorong – Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ketika berbincang-bincang dengan Jurnalis pemerhati lingkungan hidup atau Society Of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) di salah satu hotel di Kota Sorong menuturkan investasi di Papua Barat Daya ini, bukanlah suatu fenomena baru.
Menurut Tori bahwa sejarah panjang masuknya investasi di Tanah Malamoi, jauh sebelum Indonesia merdeka dan sebelum Papua berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Masuknya investasi pertama kali terjadi tahun 1910, dan bila melihat ke belakang mengenai investasi di wilayah kepala burung Tanah Papua atau kala itu semenanjung West Papua, sekitar 1910 menjadi cikal bakal berdirinya Naamlose Venoodschap Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NV NNGPM). Tahun 1923 pertama kali ditemukan tiga sumur minyak. Nanti pada tahun 1935 saat eksplorasi ketiga baru dapatlah 17 sumur termasuk di Bintuni,” ungkapnya belum lama ini.
Torianus Kalami menyatakan Investasi yang terjadi saat ini hanyalah orang yang sama yang terus menganti baju dan menurutnya investasi di Tanah Malamoi hanyalah perebutan ruang semata.
“Jadi investasi sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka dan sejarah itu menjadi awal pengkaplingan tanah Papua oleh pemodal pendatang, sekaligus permulaan munculnya konflik sumber daya alam yang berkepanjangan,” ujarnya.
Baca : Artikel liputan khusus Kompas, terbit 1 September 2007 berjudul Konflik SDA: Tanah Emas, Tanah Yang Berdarah, dimana pada tahun 1935 Pemerintah Belanda memberikan konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau meliputi sepertiga wilayah Papua pada NV NNGPM.
Torianus Kalami melanjutkan pada tahun 1945 Indonesia merdeka, namun secara defakto dan dejure West Papua belum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena Papua baru bergabung sekitar tahun 1960 an.
“Di tahun 1960 lah terjadi perubahan saham NV NNGPM menjadi Perusahan Negara Perusahaan Minyak Negara (Permina). Dari sejarah panjang investasi itu, saya melihat investasi khususnya yang terjadi di Sorong ini, tidak punya dampak signifikan bagi kehidupan masyarakat adat,” tandasnya.
Torianus menambahkan investasi yang menjadi catatan sejarah panjang mulai sebelum Indonesia merdeka, Papua bergabung dengan NKRI, era transmigrasi hingga pasca reformasi tidak memperhatikan masyarakat yang tinggal di dalam wilayah investasi.
“Silahkan lakukan kross cek ke wilayah investasi seperti Seget, Klamono, Salawati Selatan dan tengah, ada berapa banyak orang asli Papua yang bekerja di Pertamina, berapa yang sudah jadi pilot, dan dokter spesialis. Ini saya bicara data riil. Pertanyaan saya adalah kami salah apa dengan investasi yang ada disini,” kata Torianus Kalami.
Dirinya menuturkan pada tahun 1970 terjadi transmigrasi di Kilo 12 Masuk dan orang Moi menjadi korban sebab tidak ada ganti rugi dan tahun 1989 masuk Perusahan Kayu Lapis, perusahan ikan PT Usaha Mina. Namun tidak pula membawa manfaat bagi orang Moi.
“Kami bukan anti investasi, namun menurut saya investasi besar yang masuk tidak membawa perubahan bagi masyarakat apalagi manfaat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, ” katanya.
Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), menurut Torianus Kalami merupakan nama baru dengan pola yang sama, kemudian secara geografis, KEK meliputi kawasan Mangrove dan Coral di laut.
“Ini sangat berbahaya bagi lingkungan. Berdasarkan konfirmasi awal, salah satu alasan perusahaan menarik investasi dikarena kapal dengan bobot 10 ton tidak bisa masuk. Sementara KEK butuh kapal dengan kapasitas sampai 50 ton,” bebernya.
Torianus Kalami berharap KEK menjadi berkah bagi masyarakat dan bukannya mengulang kembali sejarah kelam investasi di masa lalu.
“Kawasan Ekonomi Khusus ini harus dijelaskan dan disosialisasikan secara baik. Jika kemudian masyarakat adat tidak diuntungkan dari KEK, bisa saja muncul anggapan KEK merupakan modus perampasan hak tanah milik masyarakat adat,” tegasnya.
Lebih jauh Torianus Kalami katakan KEK ini harus dijelaskan secara gamblang sebab KEK tidak lahir dari proses kalangan bawah, maka istilah tersebut asing dan tidak dipahami baik oleh masyarakat adat.
“Jangankan masyarakat adat yang tidak sekolah, yang sudah sekolah saja mereka tidak paham apa itu KEK, sejenis binatang atau makanan apa, karena masyarakat tidak paham,” ujar Torianus Kalami.
“Masyarakat adat kita ini dipaksa melakukan lompatan tiga budaya, dari masyarakat nomaden menjadi masyarakat industri. Ibarat masyarakat yang biasa naik sepeda langsung dipaksa membawa panser,” tutup Torianus Kalami mengakhiri wawancara.