Hadiri Pelantikan KKTB Kota Sorong, Sultan Tidore Ceritakan Histori Papua Dan Tidore

IMG 20210705 WA0002

IMG 20210705 WA0002

Matapapua – Sorong : Sebuah momentum haru dan antusias bagi masyarakat Suku Tidore ketika merasakan langsung sapaan hangat dari Sultan Tidore. Momentum haru dan bahagia ini tergambarkan melalui penyambutan yang begitu meriah oleh masyarakat Suku Tidore sendiri.

Ya, tepat pada Sabtu (3/7) masyarakat Suku Tidore disibukan dengan berbagai kegiatan penyambutan yang sudah dipersiapkan sejauh hari. Mulai dari anak-anak, muda-mudi dan orangtua masing-masing ambil bagian dalam prosesi penyambutan yang mulia.

Tarian Kapita menghiasi seluruh prosesi Sultan dan para tamu undangan. Selain itu berbagai bermacam tarian asal Tidore pun disuguhkan seperti tarian Soya-soya, tarian Barakati dan tarian Dana-dana yang di bawakan oleh putra-putri asal Suku Tidore yang bernaung dibawa sanggar Nuku Kota Sorong.

Sang pemimpin Sultan Tidore dengan nama lengkap H. Husain Alting Sjah, S.E., M.M. adalah seorang Sultan Tidore ke-37. Selain itu dia juga merupakan anggota DPD RI asal Provinsi Maluku Utara, yang dilantik pada 1 Oktober 2019.

Kunjungan Sultan Tidore di Kota Sorong tidak lain adalah hadir dan menyapa secara langsung masyarakatnya di Kota Sorong, sekaligus menyaksikan Pelantikan Ketua dan pengurus Kerukunan Keluarga Tidore Bersatu (KKTB) dan Rapat Kerja Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Tidore Kepulauan (IPPMTK) se-Sorong Raya yang digelar di Gedung Acc Al’akbar Sorong.

Pada kesempatan yang berahmat itu, Sultan menceritakan sejarah panjang dalam proses penyatuan Indonesia salah satunya hubungan erat Tidore yang berkaitan dengan pulau paling timur Indonesia, yakni Papua.

Dikisahkan bahwa Hubungan Papua dan Tidore serta Maluku Kieraha pada umumnya bukanlah hal baru melainkan Papua adalah sahabat bahkan saudara bagi orang Tidore. Papua adalah bagian yang tak terpisahkan, sehingga dalam sebutan orang Tidore, Papua disebut dengan Papo ua. Ini jelas bahwa nama Papua merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Tidore.

“Ada yang mencoba untuk menggeserkan dan membenturkan orang Tidore dan orang Papua. Sering orang salah mengartikan Papua dari Bahasa Tidore yang artinya Papa ua. Arti dari istilah itu adalah tidak memiliki ayah atau orang tua. Padahal yang benar ialah Papo ua, yang berarti tempat yang jauh, jadi sebenarnya statman, pandangan dan pernyataan itu sangat keliru karena tidak membaca sejarah” ujar Sultan Tidore.

Para Penari Putra-putri Asal Suku Tidore Dari Sanggar Nuku Sorong Berfoto Dengan Sultan Tidore.

Menurutnya, jika pulau ini dianggap sebagai Papa ua maka jadinya identik dengan tanah tak bertuan atau tidak punya bapak. Artinya, siapa pun bisa memiliki Papua. Sultan Tidore dengan tegas menepis anggapan itu.

Disebutkan, Pulau Papua dahulu merupakan pulau yang sulit dijangkau atau jauh bagi orang-orang Tidore saat berlayar. Meskipun tercatat armada Tidore pernah tiba di Kepulauan Pasifik, namun tetap saja, bagi orang-orang Tidore tanah Papua menjadi daerah yang jauh di seberang lautan.

“Saat kami di angkat dan disumpah, disitu sudah jelas tertulis bahwa Papua adalah bagian dari keluarga yang satu yang tidak terpisahkan dari Kesultanan Tidore sehingga disebut Papua Gamsio Ma For Soa Raha,” jelasnya.

Berkaitan dengan itu,
Sultan menegaskan ,Pemerintah Republik Indonesia (RI) harusnya paham, untuk mengatur Papua tidak boleh dengan menuliskan kata dalam kertas (SK). Pernyataan tersebut ditepis Sultan Tidore.

Baginya kalau mau atur Papua atau mau atur tentang indonesia, format yang tepat adalah datang ke Tidore dan Papua untuk bicara atur Negeri ini harusnya sesuai dengan formasi orang Papua dan Tidore. Tidak boleh dengan sepotong kertas yang tertuang dalam SK untuk mengatur orang Papua tanpa mengenal hakekat yang sesungguhnya tentang bagaimana orang Papua.

Sultan juga mengungkapkan bahwa
dahulu saat Kesultanan Tidore mengatur
tanah Papua bersama orang Papua.Orang
Papua bisa taat dan bersatu
namun tidak ada gejolak apalagi
peperangan. Tapi sekarang, lihat apa yang terjadi. Saya juga mengatakan, membangun Indonesia tidak boleh dari barat. Harusnya bangun dari Timur yang dimulai dari Tidore dan Papua.

Dirinya mengungkapkan, dimasa kepemimpinan Sultan Zainal
Abdidin Syah (Sultan ke 35), beliau didatangi Presiden Soekarno
sebanyak dua kali untuk meminta agar
Kesultanan Tidore dan Papua
bisa masuk ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Kemudian saat
konferensi yang difasilitasi PBB, Sultan
Tidore dan Sultan Ternate di berikan 3 opsi pilihan.

Opsi pertama Tidore dan Papua bisa deklarasi mendirikan Negara Sendiri, merdeka dan berdaulat, kedua Kesultanan Tidore dan Papua bisa bersama-sama dengan Belanda dan Belanda akan menyerahkan separuh kekayaannya untuk Tidore dan Papua. Dan, opsi ketiga adalah bergabung dengan NKRI.

“Ingat Tidore dan Papua ke dalam NKRI tidak dengan cek kosong tetapi dengan darah dan air mata. Pengorbanan yang tidak kecil dan tidak bisa diukur dengan apapun serta nilai yang tidak bisa sebanding bagaimana Sultan Tidore dan Orang Papua masuk dalam genggaman NKRI,” Tandasnya

Untuk itu Jakarta harus bisa menempatkan diri dan berterima kasih, tidak boleh mempermainkan Papua dengan cara yang tidak pantas, berikan apa yang pantas untuk Tidore dan Papua Sebagaimana para leluhur kamiberikan kepada Indonesia.

Selain berkisah soal sejarah hubungan Tidore dengan Papua, dalam kesempatan ini juga Sultan Tidore memberikan penjelasan secara detail kepada tamu undangan khususnya para generasi muda tentang awal berdirinya Kesultanan Tidore.

Bahwa nilai kemanusiaan merupakan ciri khas Kesultanan Tidore yang sudah diterapkan dan dijunjung tinggi guna mempererat tali persaudaraan untuk menggapai cita-cita yang luhur yaitu kemanusiaan yang adil, makmur dan serta sejahtera. Sejak awal berdirinya Kesultanan Tidore, nilai kemanusiaan menjadi dominan. Bahwa sultan tidak pernah memandang suku, agama dan ras. Dengan demikian, sepanjang berada dalam jazirah kesultanan akan tetap dianggap bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Kesultanan Tidore.

Peristiwa ini adalah peristiwa monumental yang pernah diukir oleh Kapita Lau Rade yang kala itu sebagai Bobato/ Kapita Lau atau biasa disebut panglima perang terkemuka di Kesultanan Tidore.

“Kapita Lau Rade merupakan kakak kandung Sultan Tidore yang saat itu usia Sultan masih sangat belia yang berumur 15 Tahun. Maka saat itu dirinya dipercayakan dan diangkat sebagai mangku bumi sekaligus sebagai panglima perang contoh kalau dalam sistim pemerintahan kalau ada kegentingan maka panglima TNI mengambil Alih,” kisahnya.

Pada saat Kapita Lau menduduki bangku kekuasaannya sebagai perdana mentri sekaligus panglima perang, terjadilah peperangan yang sangat luar biasa yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Portugis, Antonio Galvao. Pasukam Gal Fao menyerang Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo.

Pada saat itu terjadilah persekutuan, sehingga Tidore, Ternate, Jailolo dan Bacan bersatu untuk memberikan perlawan terhadap pasukan portugis, namun dalam peperangan itu pasukan gabungan Tidore, Ternate, Jailolo dan Bacan kalah dalam persenjataan dan amunisi sehingga pasukannya diobrak abrik dan pada saat itu Sultan Ternate dibunuh secara sadis oleh Gal Fao beserta antek-anteknya.

“Dan pada saat itu Kapita Lau ditangkap oleh Gal Fau, sembari mengatakan kepada Kapita Lau bahwa pasukanmu sudah saya kalahkan dan sudah saya porak poranda maka mulai saat ini jika anda tunduk dan patuh kepada saya maka saya akan membebaskan anda dan akan menggantikan anda sebagai Sultan Tidore menggantikan adikmu yang belum cukup usia dan saya akan mengukuhkan dan menyiarkan ke seluruh daerah jajahan bahwa anda adalah Sultan Tidore yang berkuasa,” akunya.

Dan saat itu, lanjutnya, Kapita Lau Rade berkata kepada Gal Fao bahwa ada satu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun pasukannya dianggap kalah tapi ia tidak menyerah dan tidak takluk kepada siapapun.

“Ia tidak mungkin menghianati adiknya yang masih dibawah umur karena ia adalah Sultan saya, ia adalah pemimpin saya, ia tidak akan menjadi penghianat meskipun dihadapan anak cucunya,” ungkapnya.

Dari cerita di atas memiliki makna yang sangat luas, ungkapan dan tuturan Sultan Tidore Husain, maka untuk itu ia menghimbau kepada para tamu undangan yang hadir pada saat itu, janganlah jadi penghianat-penghianat dimanpun berada termasuk di Kota Sorong, Papua barat.

Gubernur Papua barat, Dominggus Mandacan dan Walikota Sorong, Lambertus Jitmau adalah pempimpin di Tanah Papua Barat. Untuk itu patuhilah dan taat menjalankan apa yang diperintahkan, sepanjang perintah-perintahnya yang dilaksanakan masih dalam kebaikan dan kemaslahatan bersama.

“Inspirasi tadi dan kalimat-kalimat dari cerita Kapita Lau Rade yang sudah disampaikan diatas harus menjadi motivasi dan inspirasi untuk kehidupan dalam kebangsaan yang bernama Negara Kesatuan Republik Indoneaia di dalam Papua Barat yang kita cinta,” harapnya.

Selanjutnya, untuk membangun pemerintahan ini, orang Papua, orang Tidore dan orang Maluku Kieraha harus bangga karena jauh sebelum Pemerintahan Indonesia belum terbentuk kita sudah ada jauh lebih dulu dan mengerti bagaimna mengatur pemerintahan karena kita bukan anak kecil yang baru lahir kemarin sore atau kemari pagi.

Mengapa dikatakan demikian karena kita lahir di Tidore dan Papua merupakan orang-orang terpilih oleh Allah itu bukan sebuah kebetulan itu adalah rencana panjang yang Allah berikn bahwa Tanah Papua dan Tanah Tidore adalah tanah terpilih yang harus hidup orang-orang yang terpilih juga.

Turut hadir dalam acara tersebut antara lain Gubernur Provinsi Papua Barat atau yang mewakili Staf Ahli Gubernur Provinsi Papua Barat Bidang Pemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, Muhammad A. Tawakal, dan Walikota Sorong Lambert Jitmau atau yang mewakili Asisten III Bidang Administrasi, Perekonomian dan Pembangunan,Tajudin Tamrin.

Dalam pelantikan tersebut ada 23 orang pengurus yang dilantik menjadi pengurus KKTB diantaranya, Samsudin Gamtohe dilantik menjadi ketua KKTB dan Sekertaris KKTB, Taher Tidore.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Leave a comment