Mengapa Korban Kekerasan Seksual Enggan untuk Melapor?

IMG 20211122 WA0031

IMG 20211122 WA0031

Matapapua – Papua Barat : Mengapa kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkap diruang public? Kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkap kepermukaan atau merupakan fenomena gunung es. Meskipun kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering sangat terlambat. Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual terhadap anak bisa disebabkan oleh faktor internal maupun structural.

Hal ini terjadi karena tidak semua korban melaporkan kejadian yang dialaminya. Korban biasanya takut untuk melapor ke pihak berwajib, maupun lembaga pendampingan. Berdasarkan Data Pusat Statistik dan Komnas Perempuan pada 2017, menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Komnas Perempuan tahun 2018, mencatat 406.178 kasus terhadap perempuan, meningkat dari tahun sebelumnya.

Hal-hal yang menyebabkan korban kekerasan seksual enggan melapor, secara umum penolakan pada korban sendiri karena takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanya ancaman) maupun dari kejadian itu sendiri sebagai aib, pelaku umumnya orang dewasa sering menolak tuduhan (setidaknya di awal proses penyelidikkan).

Strategi yang dipakai oleh pelaku adalah menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami “wild imagination”, keluarga yang mengalami kasus ini menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap, menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga (hubungan orangtua-anak, suami-istri) tidak patut dicampuri oleh masyarakat, masyarakat tidak mengetahui secara jelas “tanda-tanda” pada diri anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus sexual abuse karena tidak adanya tanda-tanda fisik yang terlihat jelas, sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat luas.

Selain itu ada hal-hal lain yang menyebabkan korban kekerasan seksual enggan melapor, secara psikologis korban merasa malu dan bingung tentang pengalaman yang terjadi padanya, korban takut apabila ingatan (trauma) tentang kejadian kekerasan seksual muncul kembali karena dapat menyebabkan kecemasan dan rasa sakit, korban kuatir sikap orang lain yang cenderung menyalahkan dirinya, mulai dari cara berpakaiannya, gaya hidup, dan bahkan kehidupan pribadinya, korban me minimizing atau defence mechanism dengan berkata pada diri sendiri bahwa, “itu bukan persoalan besar”, “saya selalu sensitif” atau “saya yang mengalami hal ini jadi saya harus bisa mengatasinya sendiri”.

Korban menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa ia seharusnya bisa menghentikan perbuatan kekerasan seksual tersebut, korban menyangkal atau tidak mau percaya bahwa peristiwa kekerasan seksual benar-benar terjadi pada dirinya, korban takut diasingkan atau tidak disukai lingkungannya, dan korban merasa tidak diakui dan tidak ada orang yang percaya dengan laporannya.

Dalam banyak kasus, sekalipun tetangganya mengetahui dan mendengar jerit kesakitaan, dan tangisan keras anak-anak yang dihajar orangtuanya, tetapi karena persoalan itu dianggap sebagai masalah intern per keluarga masing-masing, maka mereka biasanya hanya diam dan tidak berani ikut campur. Dikalangan keluarga sendiri pun biasanya mereka juga enggan mengungkap kasus-kasus child abuse yang menimpa anggota keluarganya, karena dikuatirkan dapat mempermalukan atau menimbulkan aib yang tidak diinginkan.

Tindak kekerasan seksual terhadap anak biasanya baru memperoleh perhatian secara lebih serius tatkala korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan dapat menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan masyarakat. Seperti halnya tindak kekerasan yang dialami perempuan, tindak kekerasan pada anak disinyalir terdapat pada setiap tingkat kelas dan dapat dialami serta dilakukan siapa saja, baik orang-orang yang secara psikologis berperilaku menyimpang atau oleh orangtua kandung yang kesehariannya terlihat begitu baik, namun bisa dengan tiba-tiba berubah kalap : memaki, menampar, memukul, atau bahkan membunuh anak kandungnya sendiri, (16/11).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Leave a comment