Matapapua – Papua Barat: Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) di usia ke-14 tahunnya melaksanakan webiner dengan mengusung tema ” Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak” dan bekerjasama dengan berbagai pihak yakni Mabes Polri, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Perlindungan Sanksi Korban (LPAK) dan Kementerian Kesehatan, Selasa (2/11).
Ketua Umum Pengurus Pusat Apsifor Dra. Reni Kusumowardhani, M. Psi., Psikolog., dalam sambutanya mengatakan, Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) merupakan organisasi yang mewadahi psikolog serta ilmuwan psikologi di dalam mengembangkan serta menerapkan ilmu psikologi dalam kaitannya dengan hukum.
” Apsifor adalah wadah psikolog juga ilmuwan psikolog, tepat di 3 November 2007 dideklarasikannya Apsifor sehingga saat ini genap berusia 14 tahun, dalam usianya 14 tahun tersebut kini Apsifor memiliki anggota sejumlah 479 orang, yang tersebar di seluruh Indonesia, sejak lahirnya Apsifor maka secara rutin setiap tahun digelarlah kegiatan yang bertopik ilmiah Nasional” kata Reni.
” Kami sangat berbahagia kepada kesediaan seluruh Dinas baik diseluruh provinsi yang ada di Indonesia, dalam menyuarakan edukasi kepada masyarakat serta dinas-dinas terkait. Apa yang kita gerakkan pada hari ini di harapkan tidak berhenti sampai di sini, Insya Allah kita akan siap untuk bekerjasama untuk melanjutkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak yang mungkin terjadi di Dinas Provinsi, Kota dan Kabupaten di seluruh wilayah Indonesia. Semoga dengan kegiatan kita pada hari ini, dapat membawa manfaat bagi perlindungan anak terhadap kekerasan seksual ” tambahnya.
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Papua, dan Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Papua ( Apsifor) Yosefina Watofa, M. Psi., Psikolog, memberikan apresiasi kepada Apsifor, ini pertama kali webinar yang diselenggarakan di seluruh Provinsi yang ada di Indonesia dan ini sangat luar biasa, dalam menikatkan kepedulian terhadap kekerasan seksual terhadap anak.
” Untuk Apsifor saya memberikan apresiasi, dan memberikan respect yang luar biasa kepada Apsifor yang mana sudah bersusah payah dan lelah menyelenggarakan kegiatan ini dengan topik yang sangat menarik ” ucap Yosefina.
Banyaknya pengabaian kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi, sehingga topic ini sangat penting sekali di angkat, agar seluruh stakeholder yang terkait tau peran dan fungsi untuk menangani hal tersebut dengan baik.
” Banyak kasus secara tidak tuntas penyelesainya, dan pendampingannya. Jadi dengan adanya webiner ini bagaimana kita mengajarkan anak-anak itu untuk bisa memproteksi diri mereka sendiri. Persoalan ini sering terjadi baik anak-anak hingga dewasa mengalami dampak buruk dari kekerasan seksual yang pernah dialaminya, Oleh karena itu saya pikir ini sangat bagus sekali untuk disimak dan dimengerti, agar dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dapat teratasi ” jelasnya.
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Papua Barat, Nursiah Yusdiranti Barus, M. Psi., Psikolog mengatakan, Himpunan Psikologi Indonesia Papua Barat sendiri memiliki beberapa anggota psikolog lulusan psikologi yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Forensik, ikatan psikologi klinis kemudian psikologi industri dan organisasi lainnya, semuanya merupakan asosiasi atau ikatan yang berada di bawah naungan Himpsi.
” Himpunan Psikologi Indonesia kami di sini di Papua Barat sangat mendukung, sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh Apsifor pada tahun ini, dan ini merupakan langkah yang sangat tepat dalam upaya pencegahan atau upaya mewujudkan kesehatan mental bagi kita semuanya, baik setiap elemen, organisasi, anggota dari Himsi di wilayah Papua Barat. Apsifor sangat penting perannya dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak ” ungkap Nursiah Yusdiranti Barus.
” Apsifor disini berupaya melakukan tindakan preventif dan promotif agar bagaimana memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat untuk melakukankan dan memberikan sesuatu agar bertanggung jawab kepada masyarakat dan seluruh anggota dari pada elemen pemerintah maupun Himsi Papua Barat sangat mendukung kegiatan positif seperti ini ” jelasnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua Barat, Elsina Y. Sesa S. Sos., M M., mengatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan permasalahan yang terus menjadi perhatian dari tahun ke tahun, yang mana kekerasan seksual terhadap anak terus mengalami peningkatan berdasarkan data informasi online perlindungan perempuan dan anak tahun 2021 kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Provinsi Papua Barat mencapai 105 kasus.
” Di tahun 2021 hingga di bulan Oktober terdapat 47 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, kekerasan seksual banyak melibatkan perempuan dan anak sebagai korban, data laporan tahunan perempuan 2021 menunjukkan bahwa jumlah perempuan menjadi korban kekerasan terus meningkat dalam 13 tahun terakhir khusus di tahun 2020 kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan 31,5% dari tahun sebelumnya. Penting menjadi catatan telah ada penurunan jumlah kasus pada tahun 2020 bukan berarti jumlah kasus menurun, tetapi berdasarkan survei penurunan jumlah kasus dimasa pandemik dikarenakan yang pertama, korban dekat dengan pelaku selama pandemik, berikut korban cenderung mengadu ataupun diam karena takut ” kata Elsina.
Kendala yang terjadi pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimasyarakat yang cenderung enggan melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian dan lebih memilih menyampaikan kasus kepada media sosial tentu hal ini tidak menguntungkan dalam penanganan kasusnya.
” Banyak informasi dari masyarakat yang diterima oleh korban melalui media sosial sehingga dapat mengaburkan keberadaan kasus tersebut, sebenarnya selama ini program penanganan kekerasan seksual lebih banyak pada program kualitatif, yaitu penanganan pemulihan korban dan pendampingan korban yang umumnya dilakukan oleh dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk pendampingan korban, baik berupa pendampingan psikologi sosial dan hukum ini harus dilakukan karena memang dibutuhkan baik dalam penanganan hukum maupun penanganan perlindungan kepada korban ” ungkapnya.
Untuk meminimalisir terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, salah satu upaya yang penting untuk dilakukan adalah dengan psikologi edukasi tentang penanganan kekerasan seksual terhadap anak secara khusus merupakan peran penting dari Apsifor.
” Dalam penanganan kasus kekerasan seksual terutama dalam pendampingan hukum pada korban, Apsifor mempunyai peran penting dalam hal itu, untuk penanganan kasus kekerasan seksual selama ini dilakukan perlu dilengkapi dengan penanganan kasus yang sifatnya preventif atau pencegahan, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Apsifor Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan edukasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, diharapan lewat kegiatan ini kita semua mempunyai persepsi yang sama tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual terhadap anak ” tambahnya.
Anggota Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor), Rinjani, M.Psi., Psikolog dalam penyampaian materi mengatakan Apsifor wilayah Papua Barat dengan mengusung tema ” Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak ” agar masyarakat atau stackholder yang terkait lebih tau cara penanganan dan pencerahan jika terjadi hal seperti ini.
” Asosiasi Psikologi Forensik mempunyai tugas dan peranannya. Apsifor sendiri lebih bersifat terapi yang membantu sistem hidup menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya sehingga harapan dari adanya Apsifor ini pada khususnya diharapankan dapat memberikan konsep terapi neuritis dengan tujuan bahwa sistem hukum seharusnya berusaha untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan emosional individu-individu disamping memastikan keadilan dan ketertiban sosial ” kata Rinjani.
Mitos dan fakta pelaku kekerasan seksual terhadap anak pada kenyataannya atau faktanya bahwa kekerasan kepada anak memang banyak terjadi di kalangan masyarakat dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang itu.
” Setiap tahun semakin terjadi peningkatan dan faktanya kasus-kasus kekerasan seksual atau biasa disebut pelakunya sudah masuk kedalam pedoman penggolongan gangguan jiwa di Indonesia yaitu sudah termasuk ke dalam diagnosa, atau di luar negeri disebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV) itu sudah disebut Pedofilia, disebut dengan penyakit yang plantasi pada seksual ” ucap Rinjani.
Menurut James Cantor, Psikolog Klinis di pusat seksualitas Toronto di Kanada, mengatakan tidak mudah dengan memberikan definisi bahwa seseorang yang melakukan kekerasan seksual itu sebagai stigma, seseorang yang memiliki gejala atau orientasi seksual kepada anak-anak tetapi ketika orientasi tersebut tidak dirangsang pada anak-anak hal tersebut tidak bisa disebut pedofilia.
” Seseorang pedofilia banyak mengalami stigma ketika ada seseorang yang tidak melakukan kekerasan seksual terhadap anak karena dia mampu mengontrol fantasi seksnya, itu bukan berarti dia seorang pedofilia, jadi apa yang disampaikan oleh James Cantor, jangan mudah memberikan stigma langsung kepada seorang pedofilia bahwa dia seorang pedofilia, jika dia mampu menekan hormon seksualnya itu sehingga bisa lebih untuk terbuka dan dan bisa diterima oleh lingkungannya dengan baik, pedofilia yang sebenarnya adalah tindakan kekerasan seksual pada anak ” jelas Rinjani
Adapun langkah yang dapat di lakukan jika anak mengalami Kekerasan Seksual Anak (KSA), dengan cara harus dapat memahami dan memberikan keamanan dengan menghindari sugesti pertanyaan kepada anak.
” Memahami bahwa kekerasan disebabkan oleh pelaku, kemudian memberikan keamanan dan kesehatan anak setelah peristiwa tersebut itu sangat penting, jika terjadi seperti itu alangkah baiknya apabila terjadi di rumahnya sebaiknya anak itu jangan dikembalikan ke rumah itu lagi, karena hal itu akan membawa dampak psikologis pada anak, otomatis trauma itu akan diingat kembali, dengan peristiwa tersebut menghindari pertanyaan sugesti yang mempengaruhi informasi anak, hindari pertanyaan tertutup dan mengarah kepada hal itu, yang wajib dihindari pada saat bertanya adalah pertanyaan yang anak tidak bisa menjawab atau tidak benar ” pungkasnya.
Discussion about this post