• 19 Nov, 2025

Tugboat Fransiskus-05 dan Tongkang APS-01 Ditahan Tanpa Perintah Penyitaan dari Pengadilan

Tugboat Fransiskus-05 dan Tongkang APS-01 Ditahan Tanpa Perintah Penyitaan dari Pengadilan

MataPapua,Sorong - Yesaya Saimar sebagai masyarakat adat di Kampung Kais Distrik Kais Kabupaten Sorong Selatan melalui Kuasa Hukumnya, Simon Soren mem-praperadilan-kan Dirkrimum Polda Papua Barat Daya dan Kapolres Sorong Selatan dalam hal ini Kepala Satuan Reskrim lebih khusus lagi Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polres Sorong Selatan. 

Yesaya Saimar menyakini bahwa tindak hukum yang dilakukan pihak Polda Papua Barat Daya dan Polres Sorong Selatan dalam melakukan penyitaan dan menahan Kapal Tugboat TB. Fransiskus-05 dan Tongkang APS-01 tertanggal 27  April di Dermaga Polairud Polda Papua Barat Daya, tidak sah menurut hukum. 

Simon Soren katakan pihak Polda dan Polres Sorsel dalam melakukan penyitaan dasarnya sudah jelas, yakni berdasarkan Pasal 38 KUHAP. Dimana penyitaan dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. 

"Kenapa pihak Polda dan Polres tidak ajukan permohonan penyitaan terhadap kedua kapal ini? Padahal dengan mengajukan permohonan penyitaan ke Pengadilan Negeri Sorong berarti pihak Polda dan Polres telah ikut bersumbangsi menambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Disini kan tentu bisa muncul dugaan ada kesengajaan atau lalai atau pura - pura lupa?," tanya Simon Soren, Selasa 

Semua dalil bantahan yang disampaikan  pihak Polda Papua Barat Daya dan Polres Sorsel, kata Simon Soren, bahwa perkara masih dalam penyelidikan sehingga Polda Papua Barat Daya dan Polres Sorsel sebagai termohon dalam pra peradilan ini tidak mengajukan upaya penyitaan kepada Pengadilan Negeri Sorong. Namun fakta, kedua kapal di tahan tanpa Police line ini justru akan menimbulkan tindak pidana lain. 

Dasar Hukum Praperadilan Pihak Polda dan Polres

Dasar hukum hingga Yesaya Saimar sebagai masyarakat adat mengajukan permohonan Praperadilan sangat jelas. Simon Soren sampaikan ada  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/ 2014 tanggal 28 April 2015. 

Dimana  MK dalam putusan nomor 21/2014 menambah objek praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan dan/atau pengasingan, sah atau tidaknya pengungkapan penyidikan sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan, sah atau tidaknya penyitaan; dan pengembalian ganti kerugian atau rehabilitasi.

"Sampai di sini jelas sekali. Objek yang di praperadilan kan oleh masyarakat adat ini soal sah atau tidaknya penyitaan. Putusan MK nomor  21/2014 telah memperluas objek praperadilan. Jadi pra peradilan bukan hanya soal sah atau tidaknya penyidikan atau penahanan yang dilakukan pihak kepolisian  atau aparat penegak hukum lain berdasarkan kewenangan yang dimiliki," ucap Simon Soren usai sidang di lingkungan Pengadilan Negeri Sorong.

Kasus ini bermula dari ingkar janji pihak PT Mitra Pembangunan Global (MPG) kepada masyarakat pemilik hak ulayat. Dimana PT MPG telah melalaikan sewa tambag milik masyarakat adat lebih dari 6 tahun dan belum membayar kompensasi kepada masyarakat adat senilai 10 Miliar. 

PT MPG sendiri kabarnya, telah tutup dan meninggalkan dua kapal yakni kapal tugboat Fransiskus 05 dan tongkang APS 01. Pihak Polres Sorong Selatan telah memfasilitasi antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan pihak perusahaan. 

Simon Soren katakan kedua kapal itu milik masyarakat adat yang telah disepakati pada perjanjian , bila bahwa PT MPG tidak bisa membayar utang kepada masyarakat adat. 

"Kita kembali pada pernyataan yang dibuat  di Polres Sorong Selatan. Poin pertama kesepakatan menjelaskan bahwa pihak PT MPG yang diwakili oleh Sawaludin  akan membayar hak masyarakat pada tanggal 15 April 2025, namun sampai tanggal 15 April pembayaran itu tidak dilaksanakan. Maka kita kembali ke poin kedua bahwa ketika perusahaan atau pihak PT MPG tidak membayar kompensasi yang dimaksud dalam hal ini gaji, pesangon dan sewa tambah, maka bangkai kapal  tersebut diserahkan  ke masyarakat sebagai bentuk kompensasi ganti rugi," kata Simon Soren. 

Dengan dasar inilah, kata Simon Soren, tanggal 17 April 2025 kapal tugboat FRansiskus 05 dan tongkang APS 01  digeser dari Kais ke Kota Sorong. 

Sampai dengan empat kali sidang di Pengadilan Negeri Sorong, Simon Soren katakan pihak Polda dan Polres Sorsel tidak mampu menunjukkan bukti sah atau tidaknya, tindakan hukum berupa penyitaan yang dilakukan terhadap kapal Tugboat FRansiskus 05 dan Tongkang APS 01 yang ada di Dermaga Polairud Polda Papua Barat Daya. 

 "Kami sudah duduk bersama di muka persidangan, yang pertama teman-teman termohon tidak dapat menunjukkan dan membuktikan dasar hukum penyitaan dalam hal ini terkait kapal tugboat dan tongkang di Dermaga Polairud," kata Simon Soren.

Selama empat kali sidang sejak tanggal 30 Oktober 2025, Simon Soren katakan tidak ada satu bukti pun yang diajukan oleh pihak Polda dan Polres untuk membenarkan tindakan hukum penyitaan yang telah dilakukan atas dua kapal tersebut. 

"Termohon tidak dapat ajukan alat bukti untuk klaim kedua kapal yang ditahan merupakan  barang bukti yang diamankan oleh pihak Polda dan Polres," kata Simon Soren. 

Kemudian yang kedua, kata Simon Soren,  saksi yang diajukan oleh pihak Polda dan Polres kurang lebih ada 5 orang. Namun sesuai dengan KUHAP Pasal 168, dari 5 saksi yang diajukan hanya satu saksi yang diambil sumpah. 

"Empat saksi tidak diambil sumpah, karena  secara langsung bertentangan dengan pasal 1 ayat 68 karena memiliki hubungan darah sehingga mereka tidak dapat diperbolehkan untuk dan bersumpah di muka pengadilan. Keterangan saksi hanya didengar oleh Hakim, tetapi tidak dicatat dalam berita acara," kata Simon Soren. 

Yang sangat sederhana sekali saja, kata Simon Soren, kenapa pihak Polda dan Polres tidak menghadirkan pemilik kapal atau pihak yang mengaku punya hak atas kedua kapal tersebut. 

"Kami sudah mengecek dasar hukum atau alat bukti pelapor. Dalam hal ini atas nama Sawaludin yang mengaku sebagai manager PT Mitra Pembangunan Global (MPG)," kata Simon Soren. 

Sawaludin yang mengaku sebagai manager PT MPG ini sangat tidak menghargai panggilan siapapun, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat Daya. 

"Dua kali hering, Dewan memanggil pihak PT MPG, tapi tak kunjung datang," ucap Simon Soren. 

Sejak Februari, lanjut Simon Soren, perkara ini anatar pihak masyarakat adat yang diwakili oleh Yesaya Saimar dengan pihak PT MPG. Proses ini berjalan mulai dari bulan Februari hingga November. 

"Jadi semua proses baik berita acara dasar pelaporan dan kesepakatan kesepakatan yang dibuat di luar kesepakatan itu menamakan PT Mitra Pembangunan Global. Namun dalam fakta persidangan justru yang ditunjukkan adalah surat kuasa atas nama PT Armada Prima Samudera (APS), sehingga ini menurut kami sangat rancu," kata Simon.

Sejak awal proses sengketa bangkai kapal tugboat dan tongkang ini, kata Simon Soren, didasarkan  atas kesepakatan bersama dengan PT MPG. Adanya laporan polisi dari PT MPG membuat ada tindakan hukum berupa penyitaan sebagai barang bukti. 

Namun  kapal tugboat FRansiskus 01 dan tongkang APS 01, kata Simon Soren, disita untuk menjadi barang bukti tidak sah, dan merupakan bentuk tindakan sewenang - wenang oleh pihak Polda dan Polres Sorsel. 

Dimana berdasarkan nomor di atas kapal dan juga bukti autentik dari notaris terkait balik nama itu semua atas nama PT APS. Sehingga surat kuasa atas nama yang dibawah sebagai bukti di muka hakim tidak dapat dipakai sebagai legal standing untuk menjamin keabsahan dokumen-dokumen yang telah diajukan apalagi dalam  prapradilan. 

"Sudah sangat jelas ini menimbulkan multi tafsir , karena bukti penyelesaian yang sudah dilakukan, namun tidak diterima oleh prinsipal dan dokumen-dokumen kesepakatan yang dibuat tanggal 20 Maret  2025  di Polres Sorsel hingga saat ini jelas dan sangat jelas sesuai dengan bukti autentik yang PT MPG. Namun yang diajukan sebagai bukti pelapor justru PT APS. Inikan rancu, " kata Simon Soren. 

Masyarakat Adat Hanya Minta Hak yang Belum Dibayarkan oleh PT MPG

Masyarakat adat kampung Kais, Distrik Kais, Kabupaten Sorsel pada dasarnya, entah siapapun itu yang mengaku - ngaku sebagai pemilik dua kapal ini punya kewajiban untuk memenuhi tuntutan masyarakat. 

*Masyarakat menuntut hak sebesar Rp 16 miliar. Jadi siapapun yang mengklaim pemilik kapal harus siap untuk membayar tuntutan masyarakat. Kalau tidak sesuai dengan pernyataan yang ada terlepas dari pernyataan-pernyataan abal-abalan yang sudah dibuat, kami minta dengan tegas supaya segera diselesaikan," kata Simon Soren. 

Terakhir Simon Soren selaku kuasa hukum Yesaya Saimar minta hakim tunggal yang mengadili perkata praperadilan  harus betul-betul objektif dengan menimbang dengan melihat undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. 

"Undang - Undang Otsus ini memberikan jaminan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat asli Papua bahwa hak masyarakat adat Papua perlu dijamin sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan kepada orang Papua," tutup Simon Soren. 

Polda Papua Barat Daya dan Polres Sorsel Menilai Gugatan Kabur dan Tidak Jelas

Pihak Polres Sorsel yang diwakili Ambotang Bugis sebagai Ps. Kasikum Polres Sorsel, Munawir Malik sebagai Ps. Kanit IV Sat Reskrim Polres Sorsel memberikan tanggapan atas permohonan Yesaya Saimar menyebutkan, penyidikan yang dilakukan  terkait dengan adanya Laporan Polisi Nomor: LP/30/III/2025/SPKT/POLRES SORONG SELATAN/ POLDA PAPUA BARAT DAYA tanggal 04 Maret 2025 masih dalam Tahapan Penyelidikan dan belum dinaikan ke  Tahapan Penyidikan. 

Pihak Polda dan Polres Sorsel menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara proses penyelidikan dan proses penyidikan. 

Dimana Penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencar dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan yang diatur dalam Pasal 1 Angka 5 KUHAP. 

Penyidikan  adalah Serangkaian tindakan penyidik untuk mencari sert mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tinda pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya Pasal 1 Angle 2 KUHAP.  Sehingga pihak Polres Sorsel menilai gugatan yang diajukan oleh Yesaya Saimar melalui Kuasa Hukumnya kabur dan tidak jelas (Obscuur libel), dikarenakan penyelidikan bukanlah objek dari Praperadilan. 

Tindakan yang dilakukan oleh pihak Polres Sorsel saat ini masih berada pada tahap Penyelidikan, yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari d menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. 

Terkait dalil soal ketidak prosedural penyitaan karena tidak pernah menunjukan surat Penyitaan barang bukti kepada Yesaya Siamar maupun Kuasanya dan kepada semua instansi, terkait status penyitaan 1 Unit Kapal Tugboat TB. Fransiskus 05 dan 1 Unit Tongkang APS 01 yang di sita dari belakang Bekang Jalan Baru Kota Sorong ke Polda Papua Barat Daya dan sangat bertentangan dengan hukum karena tidak memenuhi sarat formil dan materil sesuai Pasal 31 ayat 1 KUHAP. 

Pihak Polres Sorsel menolak keseluruhan Dalil pemohon tersebut, karena pihak Polres Sorsel tidak pernah mengeluarkan Surat Penyitaan Barang Bukti penyitaan 1 Unit Kapal Tugboat TB. Fransiskus 05 dan 1 Unit Tongkang APS 01, seperti halnya yang telah didalilkan kuasa hukum Yesaya Saimar, karena  dalam proses penanganan Laporan Polisi Nomor: LP/30/III/2025/SPKT/POLRES SORONG SELATAN/ POLDA PAPUA BARAT DAYA tanggal 04 Maret 2025, masih dalam tahapan penyelidikan yang mana pada tahap tersebut para termohon belum melakukan upaya paksa Penyitaan.