MataPapua,Sorong - Pembangunan area gedung perkantoran Provinsi Papua Barat Daya di Kilometer 16 Kota Sorong seluas 55 Hektar yang saat ini dalam tahap pengerjaan, ternyata 2 Hektar diantaranya adalah milik Tomas Witak.
Sejak tahun 2023, Tomas Witak bersama tim kuasa hukumnya telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan persoalan ganti rugi atas 2 hektar lahan itu, namun pemprov hanya berikan janji manis tanpa ada realisasi.
Puncaknya pada bulan Februari 2025, tim kuasa hukum Tomas Witak melakukan aksi pemalangan agar tidak lagi ada aktivitas, meski pemprov Papua Barat Daya telah membangun jembatan diatas lahan tersebut.
Tim Hukum Tomas Witak di lokasi pembangunan lahan 2 hektar (Dok MP/feb2025)
Upaya pemalangan untuk menghentikan proyek pembangunan yang berlangsung di atas areal 2 hektar tanah miliknya tak kunjung direspon. Maka langkah hukum pun ditempuh.
Tidak tanggung - tanggung Kuasa Hukum Tomas Witak yakni Mardin, Bayu Purnama, Leni Wanda dan Abidin Kilwou mengadukan Pemprov Papua Barat Daya ke Polresta Sorong Kota melakukan pelanggaran pidana dengan pasal penyerobotan.
Usai membuat pengaduan ke Polresta Sorong Kota , kuasa hukum Tomas Witak langsung mengadakan konferensi pers di salah satu kafe.
Mardin selaku kuasa hukum membuka penyampaian keterangan pers dengan mengatakan telah mengadukan Pemprov Papua Barat Daya karena telah mengambil, dan menguasai tanah milik Tomas Witak.
"Kami mengadukan Pemprov, sebab Pemprov sudah melakukan aktivitas di atas tanah milik klien kami," ujar Mardin, Senin (19/5/2025).
Dia mengatakan Pemprov Papua Barat Daya dapat hibah tanah seluas 53 hektar dari Pemerintah Kabupaten Sorong. Yang mana dari 53 hektar itu ada tanah Tomas Witak seluas 2 hektar.
"Kami berharap Polresta Sorong Kota bisa segera menindaklanjuti pengaduan yang kami buat," ujar Mardin.
Bayu Purnama selaku kuasa hukum Tomas Witak turut menambahkan. Dimana Bayu berkata sebelum sampai pada pengaduan ke Polresta Sorong Kota telah dilakukan pertemuan dengan pihak Pemprov Papua Barat Daya yang belum memenuhi titik temu.
"Dimana pada pertemuan dari tahun 2023, 2024 dan 2025 pemerintah Provinsi Papua Barat Daya berjanji akan melakukan proses pembayaran setelah mendapatkan LO dari Polda dan kejaksaan tinggi. Dan kami mendapat informasi bahwa LO yang berisi perintah pembayaran terhadap tanah klien kami tapi sampai sekarang belum ada proses pembayaran," tutur Bayu Purnama.
Karena belum juga kunjung ada pembayaran dari Pemprov kata Bayu Purnama, sehingga menimbulkan tanda tanya.
"Pemprov ini maunya apa," kata Bayu Purnama.
Dasar hukum kliennya, Bayu Purnama sampaikan mengadu ke Polresta Sorong Kota, sebab mengacu pada Akta van dading.
Akta van dading adalah akta perdamaian yang diatur di dalam Pasal 1851 KUH Perdata dan Pasal 130 HIR yang dibuat para pihak untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
Leni Wanda menambahkan, kepentingan Tomas Witak setelah belum juga kunjung dapat titik terang ingin menarik kembali sertifikat hak milik.
"Kami telah menyurat ke Pemda Kabupaten Sorong dan Pemprov untuk menarik kembali sertifikat, namun surat yang kami kirim hingga kini belum kunjung dibalas," tutur Leni Wanda.
Dari berbagai upaya komunikasi hingga surat menyurat tak kunjung mendapat kejelasan dari Pemprov Papua Barat Daya sehingga pihaknya selaku tim kuasa hukum Tomas Witak bersepakat untuk membuat pengaduan ke Polresta Sorong Kota.
Bayu Purnama menambahkan pihaknya, belum tahu pasti alasan utama Pemprov Papua Barat Daya menolak Akta van Dading putusan Pengadilan Negeri Sorong.
Mardin ikut pula menambahkan, pihak Pemprov memang menyarankan kepada klien kami untuk membuat gugatan ulang ke Pengadilan.
"Mereka harus paham bahwa akta van Dading memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan akhir pengadilan. Kami sarankan buat pihan Pemprov yang tidak paham soal hukum acara untuk tidak beralasan mengunakan akta van Dading supaya tidak membayar hak tanah milik klien kami," kata Mardin sembari menambahkan nilai ganti rugi yang dituntut, Mardin katakan berjumlah Rp 7 Miliar.