MataPapua,Sorong - Meski Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan telah membentuk tim percepatan penyelesaian sengketa terhadap kompensasi tanah hak Ulayat yang digunakan perusahaan sawit PT. ANJ sejak tahun 2013, namun masyarakat Kampung Jamarema dan Puragi Distrik Matemani juga tidak tinggal diam agar segera diselesaikannya persoalan tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan pertemuan perwakilan 7 masyarakat adat Jamarema Puragi dan Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu di ruang rapat Kantor Gubernur untuk menggelar audensi, Kamis (3/7/2025).
Pasalnya ketujuh masyarakat adat yakni marga Yakomina Gue, Arnold Bumere, Mesak Kawaine, Yosep Menggelar, Daniel Atoare, Fredik Orapae I dan Yoram Orapae II merasa resah lantaran persoalan pembayaran kompensasi belum juga selesai hingga saat ini.
Saat menemui Gubernur Elisa Kambu, perwakilan masyarakat adat didampingi oleh Kuasa Hukum dari Kantor Hukum Bhonto Adnan Wally, Benny Sarlaut, Nur Asliah, Safitra dan Insar.
Setelah melakukan pertemuan sekitar 30 menit lebih, Bhonto Adnan Wally,S.H.,M.H didampingi 7 marga di Kampung Jamarema dan Puragi, Distrik Matemani dan rekan advokad memberi apresiasi kepada Gubernur Elisa Kambu.
"Kami memberi apresiasi yang tinggi kepada pak Gubernur. Sebab di tengah - tengah kesibukan masih menyempatkan diri untuk mendengarkan keluhan kami," ujar Bhonto Wally.
Lahan perkebunan kelapa sawit seluas 1.544,66 hektar yang masuk wilayah adat 7 marga yakni marga Yakomina Gue, Arnold Bumere, Mesak Kawaine, Yosep Menggelar, Daniel Atoare, Fredrik Oropae I, dan Yoram Oropae II ini, telah digunakan PT Austindo Nusantara Negara (ANJ) sejak tahun 2013, dimana dari sejak tahun 2013 hingga sekarang telah diakusisi oleh Resources Limited. Namun belum pernah dibayarkan.
Persoalan ini, kata Bhonto Adnan Wally, telah pula sebelumnya, difasilitasi oleh Bupati Sorong Selatan, Petronela Krenak dengan telah membentuk tim penyelesaian, tetapi ketujuh marga merasa belum puas, sehingga spontanitas turun ke Sorong.
"Masyarakat turun ke Sorong ini dilakukan secara spontanitas. Kami selaku tim kuasa hukum tidak mengetahui," ungkap Bhonto Adnan Wally.
Awalnya masyarakat pemilik hak ulayat ingin melakukan aksi demo ke Kantor Gubernur, namun pihak kuasa hukum sarankan untuk percaya kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
"Jadi niatan awal untuk melakukan aksi unjuk rasa, namun setelah kami ketemu dan berdiskusi, kami sarankan untuk percaya kepada Pemerintah Kabupaten Sorsel dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya," terangnya.
Bhonto menambahkan masyarakat telah bertemu dengan pak Gubernur secara langsung dan Pemerintah Provinsi akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak perusahaan, sehingga bisa menghadirkan solusi kedua belah pihak.
"Kita harap pada pertemuan berikutnya bisa ada solusi untuk kedua belah pihak," ujar Bhonto.
Di Tanah Papua, sambung dia, ada punya kekhususan dan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat diakui oleh negara dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 18 B.
"Tanah seluas 1.544,66 hektar itu bukan tanah negara dan tanah APL, tetapi merupakan tanah adat, maka tolong dihargailah pemilik tanah adat, sebab kita juga tidak mau hak adat kita diciderai," ucap Bhonto.
Kuasa hukum dari 7 marga, Bhonto Adnan Wally, mengungkapkan pihak perusahaan memang telah membayarkan uang sirih pinang (buka lahan) kala itu sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan menjanjikan masyarakat sebesar Rp 1,6 milyar di kemudian hari.
Dari keterangan masyarakat adat bahwa dana 1,6 milyar itu diinvestasikan oleh pihak perusahaan membangun koperasi dengan membeli 3 buah dump truk, namun tidak dikelola oleh masyarakat dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat adat tersebut.
"Sesungguhnya masyarakat adat sangat dirugikan hingga mencapai 2 trilyun lebih, sehingga masyarakat menuntut itu," pungkasnya.